Introspeksi Jiwa dalam Ibadah
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحَمْدُ للهِ
الذَيْ هَدَانا للإسْلامِ، ووَفَقْنَا لِاتِّبَاعِ هُدَى خَيْرُ الأَنَامِ، أَلَّفَ
سُبْحانَه بَيْنَ قُلُوْبِ المُؤْمِنِيْنَ، فَأَصْبَحُوا بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا،
وَنَزَعَ الغِّلَ مِنْ صُدُوْرِهِمْ فَكَانُوا عِنْدَ الشَّدَائِدِ أَعْوَانًا. وأَشْهَذُ
أَنَّ لا إله إلا اللهَ وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ له وأَشْهَذُ أَنَّ سَيْدِنَا مُحَمَّداً
عَبْدُهُ وَرَسُولُه. اللَّهُمَّ صَلّيِ وسَلِّمُ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وآله
وصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.
أما بعد: فَاتقوا
اللهَ عِبَادَ اللهِ واهتدوا بِهُدَى نَبِيَّهُ واسْلُكُوا سَبِيْلَهُ، فإنه سبيلُ
الفلاحِ والرَّشَادِ، وبه الفَوْزُ والعِزَّةُ والكرامَةُ. إِنَّ اللهَ سُبْحَانَه
وتعالى يَأْمُرُنَا بالاعتِصَامِ بِحَبْلِ اللهِ وإِنَّ حَبْلَ اللهِ الذَي أَمَرَنَا
بالاعْتِصَامِ بِه هُوَ هَذاَ القُرْآنُ العَظِيْمُ. وهذا النَبِيُّ الكَرِيْمُ.
وهذا الشَّرْعُ المَتِيْنُ. يَقُولُ سُبْحانَهُ (وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا)
ويَقُوْلُ النَبِيُّ صلى الله عليه وسلم: (إِنَّ اللهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلاثًا: أَنْ
تَعْبُدُوْهُ ولا تُشْرِكُوا به شَيْأً، وأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعا
ولا تَفَرَّقُوا، وأَنْ تَنَاصَحُوا مَنْ وَلَّاهُ اللهُ أَمْرَكُمْ)
Saudara-saudara kaum
muslimin yang berbahagia
Marilah kita bertaqwa
kepada Allah SWT, karena taqwa adalah langkah pertama untuk bertaubat dari
dosa-dosa yang telah lalu, yang kedua adalah menjauhkan diri dari
maksiat-maksiat yang akan datang. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui terhadap
apa yang kita lakukan. Kemudian kita menggunakan petunjuk nabiNya, serta
bertindak melalui jalan ketentuanNya –syari’ah, karena syari’ah adalah jalan
keberuntungan dan kebenaran, kebahagiaan, kemuliaan dan kehormatan bagi seluruh
umat manusia. Sesungguhnya Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk berpegang
teguh kepada tali (agama)Nya. Sedangkan tali yang harus kita pegang dengan
kuat-kuat itu tiada lain adalah al-Qur’an atau syari’at yang kuat.
Allah berfirman dalam
surat Ali Imran ayat 103:
واعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعا ولا تَفَرَّقُوا
Artinya: “Dan
berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai-berai.
Rasulullah bersabda:
إِنَّ اللهَ
يَرْضَى لكم ثَلاثا: أَنْ تَعْبُدُوه ولا تُشْرِكُوا به شَيْأً، أَنْ تَعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللهِ جميعا ولا تَفَرَّقُوا، وأَنْ تَنَاصَحُوا مَنْ وَلَّاهَ اللهُ أَمْرَكُمْ
Artinya: Sesungguhnya
Allah ridla kepada kita akan tiga perkara:
Pertama, agar
supaya kita menyembah kepadaNya dan kita tidak menyekutukan sesuatu apapun
denganNya. Kedua, agar supaya kita berpegang kepada tali (agama) Allah
dan janganlah kita bercerai-berai. Ketiga, agar supaya kita semua saling
memberi nasehat kepada penguasa yang kepadanya Allah menguasakan urusan kita.
Hari ini merupakan
hari yang paling berbahagia buat kita kaum muslimin, terutama bagi saudara kita
yang telah mendapat panggilan Allah untuk menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci.
Di samping melaksanakan ibadah, saudara kita di sana bisa berkumpul bersama
dengan semua saudaranya yang datang dari seluruh pelosok dunia. Inilah anugerah
Allah yang tidak terhingga nilainya. Inilah kesempatan paling utama untuk
melihat salah satu bukti firman Allah bahwa Ia menciptakan manusia seluruhnya
tiada lain agar di antara mereka dapat bersilaturahmi:
يا أَيُّهَا
النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوا (الحجرات: 13)
“Hai Manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu sekalian dari
seorang lelaki dan seorang perempuan, serta Kami telah menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal ... “ (QS.
Al-Hujarat: 13).
Hadirin sidang Jum’at yang
berbahagia
Pada minggu ini kita
baru saja meninggalkan tahun 2005 dan sekarang kita kita hidup di tahun 2006,
sekaligus juga kita berada pada bulan terakhir dari 12 bulan qomariyah tahun
hijriyah. Bulan ini merupakan bulan pembatas antara masa lalu dengan masa yang
akan datang karena sesaat lagi akan memasuki bulan muharram. Dengan demikian,
bulan ini adalah bulan introspeksi diri atas segala dosa dan kesalahan kita di
masa lalu, baik kepada Allah maupun kepada sesama manusia. Tahun baru miladiyah
dan akhir tahun hijriah menuntut setiap manusia untuk selalu memperbaiki
jiwanya, aqidahnya, taqwanya, amal-ibadahnya, dan hal-hal lainnya yang
dibenarkan syari’ah, disamping itu juga manusia harus merenungkan rentang waktu
satu tahun yang telah dihabiskan, sekaligus merenungkan bagaimana kita isi
tahun itu. Pergantian tahun berarti kontrak hidup kita semakin berkurang,
sedangkan dosa-dosa kita terus bertambah, tuntutan hidup kita semakin meningkat,
dan persaingan hidup semakin tajam. Sebuah kesesatan yang amat memilukan,
ketika kaum muslimin menyambut datangnya tahun baru dengan pesta hingar-bingar,
dengan hiburan-hiburan yang melalaikan dan dengan sambutan-sambutan lain yang
telah menjurus kepada kekufuran, atau mungkin sudah dikatakan kufur. Tahun baru
bukan dijadikan sebagai ajang untuk bermuhasabah/introspeksi diri, namun ia
menjadi ajang untuk mengumbar kemaksiatan di mana-mana. Tanpa sadar mereka
terjerumus ke dalam kekufuran, karena pesta, sambutan tahun baru yang mereka
lakukan hekekatnya adalah menempatkan posisi Tuhan/Allah dibelakang pesta
mereka, sedangkan mereka menempatkan posisi syaitan di depan mereka, dan
bersamanya mereka berpesta ria, tertawa terbahak-bahak, mengumbar nafsu dan
berbagai kemungkaran-kemungkaran lainnya.
Maka apakah cukup
tahun baru kita jadikan sebagai ajang pesta semata, kemudian kita lewatkan begitu
saja pergantian tahun itu, tanpa memunculkan tuntutan-tuntuan baru yang
mengarah kepada perbaikan iman, taqwa, dan prilaku. Ataukah kita menjadikan
pergantian tahun sebagai sebuah moment yang penting untuk mendorong kita lebih
baik dari hari-hari kemarin. Mari kita jadikan tahun ini sebagai tahun
pertobatan atas kecongkakan kita selama ini, tahun muhasabah atas kelalian
kita, dan tahun memperbaiki diri atas prestasi-prestasi yang pernah kita capai
pada masa-masa sebelumnya, dan menjadikan تَوصى بالصبر وتوصى بالحق
“Saling berwasiat
dalam kesabaran dan saling berwasiat dalam kebenaran”, sebagai prinsip
utama dalam hidup bermasyarakat dan beragama.
Hadirin Rahimakumullah
Ibadah Shalat Jum’at merupakan salah satu
sarana introspeksi jiwa yang bersifat kolektif.
Introspeksi diri terhadap apa yang telah kita lakukan dalam seminggu
ini, apakah barang-barang yang selama ini kita makan, nafkahkan, dihasilkan
dengan jalan yang halal ataukah sebaliknya, juga bagaimana intensitas keimanan
kita kepada Allah, meningkat ataukah menurun, bagaimana muamalah kita terhadap
sesama, apakah rasa empati terhadap sesama manusia telah tumbuh subur di dalam
nurani kita ataukah hati kita masih congkak terhadap seluruh nikmat yang Allah
anugerahkan, apakah kelapangan waktu yang Allah anugerahkan, telah kita
manfaatkan untuk sesuatu yang bermanfaat, ataukah kita menghabiskannya untuk
berbuat kemaksiatan dan kemungkaran. Pertanyaan-pertanyaan tadi harus dijadikan
renungan harian kita guna melihat bagaimana wujud asli dari jiwa kita.
Allah berfirman dalam
surat al-Hasyr ayat: 18
يا أَيُّها
الّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ ولْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ
وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِما تَعْمَلُونَ (الحشر: 18)
“Hai orang-orang yang
beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa
yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertaqwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS.
Al-Hasyr: 18).
Diantara tanda-tanda jiwa yang beriman, adalah
menjauhi maksiat, serta senantiasa menghitung setiap perbuatan dan pekerjaanya,
baik yang nampak maupun yang tidak nampak. Hal itu dilakukan agar merasa yakin
bahwa jiwanya berjalan di atas jalan yang lurus yang telah ditentukan
batas-batasnya oleh al-Qur’an, sunnah-sunnah Rasulullah SAW, dan apa-apa yang telah
dilaksanakan oleh kaum salaf yang saleh dan orang-orang yang bersama mereka.
Sehingga dapat diketahui di mana letak kesalahan dan penyimpangan dari jalan hidup
kita, yang pada akhirnya kita kembali menuju jalan yang benar, berpegang kepada
kebenaran sehingga tidak tersesat jalan dan sengsara.
Seorang muslim yang benar keislamannya
adalah orang yang mampu menghitung (mengintrospeksi) dirinya sendiri dan mampu
menguasai semua perbuatan dan pekerjaanya. Orang yang berakal dan cerdas adalah
orang yang mencela dan menegur jiwanya apabila melakukan kesalahan, sebab ia
merasa takut terhadap hari perhitungan yang lebih besar yaitu di hadapan Allah
Yang Maha Menghitung lagi Maha Kuasa.
ومَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ
خَيْراً يَرَاهُ ومَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَاهُ
Muhasabah jiwa adalah
jalan bagi orang-orang yang bertaqwa, bekal bagi orang-orang yang beriman dan
orang-orang saleh, standar rasa takut kepada Allah SWT dan petunjuk jalan
menuju Tuhan seru sekalian alam. Muhasabah jiwa dilakukan baik sebelum
melakukan suatu perbuatan maupun setelah melakukannya, ia dapat dilakukan pada
setiap waktu dan kesempatan, dengan tujuan agar yang bersangkutan merasa tenang
bahwa perbuatan yang dilakukan itu memang sesuai dengan syariat Allah dan
karena Allah. Apabila dalam perbuatan itu terdapat kekurangan atau kesalahan
yang harus diluruskan dengan segera maka hendaklah segera dilakukan.
Rasulullah SAW
bersabda:
لَنْ تزُولَ
قَدَمًا عبدٍ يومَ القيامةِ حتى يُسْأَلُ عن أربعٍ: عن عمره فِيمَ أفنَاه وعن
شبابه فيم أبلاهُ وعن ماله من أين اكتسبَه وفيمَ أَنْفَقَهُ وعن عِلْمِه ماذا
عَمِلَ به (رواه الترمذي)
“Kedua kaki seorang
hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat sehingga ditanya tentang empat
perkara: pertama, tentang umurnya, untuk apa dihabiskannya, kedua, tentang masa
mudahnya, digunakan untuk apa, ketiga, tentang hartanya, darimana diperoleh dan
kemana dihabiskan, dan keempat, tentang ilmunya, apa yang dilakukan dengan
ilmunya itu”. (HR. Tirmidzi).
Kaum muslimin
yang berbahagia
Bulan ini kita
berada dalam bulan yang mulia, di mana saudara-saudara kita yang sanggup
memenuhi panggilan Allah berbondong-bondong ke tanah suci memenuhi panggilan
itu. Di dalamnya terdapat hari yang mulia, yaitu Idul Adha, yang sering kita
sebut sebagai hari Kurban. Kesanggupan berkurban sebagai manifestasi rasa
kepasrahan yang mendalam kepada Allah yang telah memberikan berbagai macam
rizki kepada kita. Kesanggupan berkurban merupakan modal awal untuk mewujudkan
cita-cita mulia mencapai masyarakat adil dan ma’mur dalam ridla Allah. Dengan
berkurban, berarti telah tertanam rasa belas kasihan yang mendalam kepada
mereka yang hidup serba kekurangan. Dengan berkurban berarti berbagi rasa dan berbagai
bahagia dengan orang lain. Seandainya kita terbiasa dengan cara yang mulia ini,
maka kelak tidak akan timbul perasaan enak – kenyang sendirian – bila tetangga
sebelah kelaparan. Dampaknya, ia tak mau hidup bermewah-mewah kalau masih ada
orang lain mencari makan di tempat sampah. Muncul perasaan belum tentram
menyimpan pakaian bagus dan mahal seandainya masih ada saudaranya berbaju
terpal berkain kasar.
Berkaitan
dengan masalah kurban ini, bagi kita yang sama-sama duduk bersimpuh
mengharapkan ridla Allah di tempat yang mulia ini, tentu secara spontan
sama-sama ingat kepada seorang manusia yang memiliki kesanggupan berkurban
demikian hebatnya. Dialah nabi Ibrahim AS, seorang nabi yang mampu melewati
berbagai macam ujian dan cobaan berat dengan segala pengorbanan demi cintanya
kepada Allah SWT.
Sejarah telah
mencatat ketaatan dan kepatuhan Nabi Ibrahim AS. Ia telah mengorbankan jiwa,
harta, dan raganya demi meraih ridlo Allah. Ia berkorban meninggalkan kampung
halamannya, diusir oleh rajanya karena ia menghancurkan patung dan berhala yang
mereka sembah. Ia pernah dibakar hidup-hidup karena melaksanakan amar ma’ruf
nahi munkar. Ia berkorban meninggalkan anak dan istrinya di padang tandus,
yang tak ada setetes airpun, demi memenuhi perintah tuhannya.
Puncak ujian
mental Nabi Ibrahim AS, yaitu ketika ia disuruh menyembelih putranya, Ismail.
Betapa hebat pengorbanannya, siapa orangnya yang sanggup menyakiti anaknya,
lebih-lebih membuhunya, menyembelih dengan tangannya sendiri. Padahal Ismail
pada saat itu adalah putra satu-satunya yang berparas tampan, lucu dan
mempesona. Karena mengharap ridlo Allah, perintah itu ia laksanakan dengan
tulus. Orang-orang kafir yang memuhusinya memanfaatkan peristiwa itu sebagai
peluang untuk menghinanya. Dengan sinis mereka berkata, “Ibrahim telah gila
karena mau menyembelih anaknya sendiri!” Nabi Ibrahim AS tidak peduli dengan
cemoohan dan hinaan itu, ia sampaikan juga perintah Allah kepada putranya,
Ismail, seperti yang dijelaskan dalam firman Allah surat Ash- Shaffaat: 102
يَا بُنَيَّ
إِنِّي أَرَى في المَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذاَ تَرَى (الصفت: 102)
“... Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu” (QS.
Ash-Shaffaat: 102)
Karena Ismail
putra seorang nabi, yang mendapat pendidikan akhlak mulia dari ayah yang saleh,
maka ia tidak membantah tawaran ayahnya. Ismail menjawab pasrah:
يَا أَبَتِ
افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصَابِرِيْنَ (الصفت:
102)
“... Hai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu,
insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS.
As-Shaffaat: 102)
Hadirin kaum
muslimin
Barangkali itu
merupakan salah satu model manusia pilihan Allah, yang punya kesanggupan
berkurban demikian hebatnya. Kalau diperhatikan, kurban atau pengorbanan ini
merupakan fitrah untuk setiap orang yang akan dan sedang berjuang. Kita bisa
melihat para nabi dan para rasulnya, misalnya Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi
Muhammad, dan lain-lain. Nabi Musa AS, dikejar-kejar hendak dibunuh oleh
Fir’aun, sebab ia menentang, tidak mau mengakui Firauan sebagai Tuhan. Dengan
tegas Musa berkata, “Fir’aun bukan Tuhan”. Nabi Isa AS dikhianati muridnya,
sebab ia mengajarkan tentang keesaan Allah. Demikian pula Nabi Muhammad SAW
beserta pengikutnya yang setia, beliau disuruh hijrah ke Madinah oleh Allah
karena belia menyebarkan Islam.
Umat Nabi
Muhammad SAW yang setia kepadanya mendapatkan perlakuan yang kejam dari orang
kafir Quraisy pada saat itu. Mereka dikejar-kejar, disiksa, dibunuhi, dan
ekonominya diboikot agar tidak turut serta menyebarkan Islam bersama Nabi SAW.
Kesengsaraan seperti ini sering mereka rasakan. Demikian pula terhadap nabi,
baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Jalan yang biasa belia
lewati ditaburi dengan onak dan duri. Pernah, ketika beliau pulang, kepalanya
dilempari dengan tanah dan debu. Pernah ketika beliau bersujud, punggungnya
dilempari dengan kotoran Unta; ketika beliau pulang, kepalanya dilempari dengan
dengan tanah dan debu. Hingga, setiap beliau tiba di rumah, Siti Fatimah –
putrinya terkasih – sambil menangis membersihkan debi yang ada di kepala
ayahnya. Air mata Siti Fatimah tak pernah kering, sang ayah yang dikagumi dan
dicintainya sepenuh hati justru dihina oleh orang lain. Akan tetapi, setiap ia
mengusulkan agar ayahnya tidak tinggal diam, Nabi selalu berkata, “... Bersabarlah
anakku, aku tahu kesetiaanmu. Yakinlah, Allah pasti bersama kita ...”.
Walaupun nabi
dan umatnya menerima berbagai macam cobaan, Nabi tetap tegar menyampaikan risalahNya.
Perjuangan Nabi tidak penah surut karena ancaman, tak pernah mundur karena
pemboikotan. Akhirnya, segala cara kekerasan tidak juga ada hasilnya, Nabi SAW,
dan umatnya tetap melanjutkan perjuangannya, maka orang kafir mulai melakukan
pendekatan dengan cara yang agak luanak. Nabi SAW ditawari harta kekayaan yang
melimpah, ditawari kursi jabatan yang tinggi, dan Nabi SAW, ditawari perempuan
cantik. Semuanya ditolak. Dengan tegas beliau berkata: “Seandainya matahari
diletakkan di atas tangan kananku, bulan di tangan kiriku, demi Allah aku tak
akan berhenti menaburkan kalimat la ilaha illallah”.
Hadirin kaum
muslimin rohimakumullah
Belajar dari
peristiwa semacam itu membuat kita dapat memahami bahwa pengorbanan merupakan
modal utama suatu perjuangan. Sementara itu, ujian, cobaan, tantangan, dan
godaan merupakan rangsangan yang dapat membangkitakan semangat juang, sebagai
sarana untuk meraih kemenangan. Kita tidak usah heran, tidak usah terkejut,
penderitaan dan kepahitan adalah obat mujarab yang dapat menyembuhkan luka
kehidupan. Kita tahu bahwa sejak zaman Nabi Muhammad SAW, zaman sahabat, dan
seterusnya, ujian dan cobaan tak pernah sepi dari umat Islam yang ingin
memperjuangkan ajaranNya. Demikian pula bagi kita yang hidup di bumi Indonesia,
kita bisa melihat, baik para zaman penjajahan maupun setelah kemerdekaan, yang
paling sering mendapat ujian dan berbagai cobaan adalah mereka yan
memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Mereka itulah orang-orang yang taat
kepada ajaran agama.
Hadirin kaum
muslimin
Walaupun para
nabi dan rasul telah lama tiada, para ulama telah banyak tiada, para pejuangpun
banyak yang telah hilang, namun jiwa dan semangat juang, semangat berkorban
yang mereka wariskan kiranya tak perlu ikut terbuang, bahkan kita wajib
memeliharanya. Dalam upaya memelihara, mengembangkan, dan melestarikan warisan
semangat berkurban itu, kiranya tepat kalau pada hari ini kita mencoba
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari yang tak pernah luput dari
berbagai masalah. Salah satu masalah penting dari sejumlah masalah itu adalah
mengenai adanya krisis tanggung jawab. Sebuah tanggung jawab hanya
sering terucapkan, tetapi nyaris sulit untuk direalisasikan. Kata-kata tanggung
jawab sudah tampak seperti tidak berwibawa lagi.
Hadirin kaum
muslimin
Sekurang-kurangnya
ada tiga macam tanggung jawab yang harus kita tegakkan kembali, bila tatanan
kehidupan ini ingin tetap ajeg. Tiga tanggung jawab itu adalah tanggung jawab intelektual,
tanggung jawab moral, dan tanggung jawab sosial.
Pertama, mengenai
tanggung jawab intelektual. Yang dimaksud adalah suatu kesadaran untuk selalu
menumbuhkan semangat belajar, tak jemu menuntut ilmu dan mencari pengalaman
sedalam-dalamnya, dan yang lebih penting, bertanggung jawab untuk
mengamalkannya. Karena apa?
Akhir-akhir ini
kita sering menyaksikan suatu kejadian yang seharusnya tidak terjadi, tapi
justru terjadi. Yakni pendidikan nasional sekarang dikomersialisasikan, biaya
pendidikan mahal, pendidikan hanya dinikmati oleh orang-orang berduit saja,
sedangkan orang miskin tidak mendapatkan kesempatan belajar karena tidak mampu
membayar biaya pendidikan, padahal setiap warga negara tanpa memandang status
mempnyai hak sama atas pendidikan. Ini barangkali salah satu contoh bahwa
tanggung jawab intelktual sedang berada dalam ujian berat. Kalau kejadiannya
seperti ini, dapat kita bayangkan bagaimana nasib para generasi penerus yang
akan melanjutkan amanah nilai-nilai luhur dari para pendahulunya.
Kedua, yang patut kita
tegakkan adalah tanggung jawab moral. Yang dimaksud adalah suatu kesanggupan
seseorang untuk memelihara dan menjunjung tinggi nilai-niali, norma-norma
susila, dan lain-lain yang berlaku di dalam masyarakat. Krisis moral yan patut
segara mendapat perhatian adalah adanya gejala mulai menipisnya rasa malu
dan perasaan tidak takut berdosa. Banyak manusia melakukan perbuatan
dosa dan maksiat karena pada hakikatnya dia sudah tidak punya rasa malu dan
tidak takut pada dosa. Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita perhatikan,
manusia sudah berani terang-terangan melanggar aturan, melakukan penyimpangan,
melakukan dosa, dan melakukan berbagai kemaksiatan.
Ketiga, yaitu perlu
kita tumbuh kembangkan adalah tanggung jawab sosial, yaitu suatu kesadaran dan
kesanggupan, adanya kepedulian dan kepekaan sosial terhadap mereka yang hidup serba
kekurangan. Di dalam upaya menegakkan Islam, kita akan mengalami hambatan yang
cukup berarti bila kebutuhan pokok mereka (kaum miskin) tidak diperhatikan.
Lebih-lebih bila antara kelompok kaya dan miskin terdapat jurang pemisah yang
terlalu lebar. Sebab bagi mereka tuntutan lahiriah akan lebih banyak daripada
tuntutan bathiniahnya. Hal ini dapat kita maklumi, jauh-jauh sebelum Nabi SAW
dengan segala prilakunya meleburkan diri dengan kaum papa, tiada hari yang
dilewatkannya tanpa bersama fakir miskin. Suatu ketika Nabi SAW memohon kepada
Allah agar mati dalam keadaan miskin dan mohon kelak bisa dibangkitkan bersama
mereka para fakir dan miskin. Hal ini dilakukannya, antara lain untuk menghibur
dan menyelamatkan mereka dari kekufuran. Dengan tegas nabi SAW, bersabda
مَا أَمَنَ بِي
مَنْ بَاتَ شَبْعَانَ وَجَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ وَهُوَ يَعْلَمُ (رواه
الطبراني)
“Tidak sempurna iman seseorang bila ia hidup kekenyangan
sementara tetangganya kelaparan, padahal ia tahu” (Riwayat
Thabrani)
Hari ini kita ingatkan
agar dapat melihat tetangga kita yang tidak cukup vitamin dan gizi. Pada hari
raya Idul Fitri yang lalu kita diingatkan untuk menyedekahkan beras. Maka pada
hari raya Idul Adha kita diingatkan untuk menyedekahkan lauk-pauknya, dengan
harapan merekapun bisa menikmati makanan yang kita makan walau hanya setahun
sekali.
Yang lebih
utama tentu saja kesediaan kita memberi dan menyantuni fakir dan miskin, bukan
hanya pada kesempatan Idul Fitri dan Idul Adha saja, tetapi perlu kita pikirkan
nasib mereka selanjutnya karena mereka tidak hidup hanya pada saat dua hari
raya itu saja. Upaya apa yang dapat kita lakukan untuk mengangkat harkat
derajat mereka? Inilah sebagain kewajiban suci dan mulia yang harus segera kita
wujudkan bersama.
Hadirin kaum
muslimin Rahimakullah
Sebagai penutup pada
khotbah ini, mari kita merenungkan sejenak apa yang akan kita lakukan esok hari
nanti. Bagaimana kita merencanakan hidup lebih baik pada tahun ini, dan apa
bekal yang mesti kita penuhi, serta apakah kita sudah mempunyai bekal itu
ataukah sebaliknya, atau mungkin kita sudah mempunyai bekal yang cukup, ataukah
pas-pasan. Sudah siapkah kita menjadikan tauhid sebagai panglima segala amal
perbuatan kita, dan menjadikan syirik dan kekufuran sebagai musuh utama. Apakah
akan kita isi tahun ini hanya untuk mengejar kehidupan duniawi semata, atukah
akan kita isi semata-mata karena Allah dan kehidupan akhirat. Sebagai jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan tadi, sebagai seorang muslim wajib hukumnya untuk
mengarahkan segala amal-ibadah kita hanya kepada Allah semata, dan kita
senantiasa haus dengan bekal-bekal yang akan dibawa menghadap Allah robbul
alamin di yaumil akhir. Mari kita
bermunajat kepada Allah:
-
Semoga saudara-saudara
kita yang tengah melaksanakan ibadah haji senantiasa ada dalam bimbinganNya
sehingga menjadi haji yang mabrur.
-
Semoga kaum
Muslimin dengan sesamanya menjadi satu saudara yang tak terpisahkan sehingga
terwujud manjadi satu kekuatan yang tak mudah terpatahkan.
-
Dan semoga kita
semua senantiasa diberi kekuataan iman dan islam sehingga selalu menjadi
hamba-hamba Allah yang beriman dan bertaqwa.
بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي القُرْآنِ الكَرِيْمِ وَنَفَعَنِي
وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الأَيَاتِ وَذِكْرِ الحَكِيْمِ، وَتَقَبَّلَ مِنِّي
وَمِنْكُمْ تِلاوَتَهُ، أَقُولُ قَوْلِي هذا وَاسْتَغْفُرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ
المُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرُوهُ إِنَّهُ هو الغَفُورُ الرَحِيْمُ.
KHUTBAH KEDUA
الحَمْدُ
للهِ الذِي لَهُ المَلِكُ وله الحمدُ وهو
علىَ كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ. أَشْهَذُ أَنَّ لا إله إلا الله وحدَه لا شَرِيْكَ
له. وَأَشْهَذُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَحَبِيْبُهُ وصَفِيُّهُ
وَخَلِيْلُهُ البَشِيْرُ النَذِيْرُ وَالسِّراَجُ المنُِيُْرُ. الله صلي وسلم
وبارِكْ على عَبْدِكَ ورَسُولِكَ مَحَمَّدٌ وعلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ.
أما بعد:
فَيَا عِبَادَ اللهِ اِتَّقُوا للهَ حَقَّ تُقَاتِهِ ولا تَمُوتُنَّ إلا
وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. فَقَالض تعالى في كِتَابِهِ الكريمِ أَعُوذُ باللهِ مِنَ
الشَّيْطَانِ الرَجِيْمِ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ: إِنَّ اللهَ
وملائِكِتَهُ يُصَلُّونَ على النَبِيِّ يا أَيُّها الَّذِيْنَ آمَنُوا صَلُّوا
عَلَيْه وَسَلِّمُوا تَسْلِيْمَا. اللَّهُمَّ صَلِّي وسلم وبارك على سيدنا وحبيبنا
محمد وعلى آل سيدنا إبراهيم في العالمين إنّك حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اللَّهُمَّ
اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ والمُسْلِمَاتِ والمؤمنين والمؤمنات الأحياءِ مِنْهُمْ
والأمواتِ. اللهم إنا نسألك العَفْوَ والعَافِيَةَ في دِيْنِنَا وَدُنْيَانَا
وَأْهَلَنَا وَمَالَنَا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ. اللَّهُمَّ
افْتَحْ لَنَا أَبْوَابَ الفَهْمِ وأَبْوَابَ العِلْمِ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ
الرَاحِمِيْنَ. اللهم إِنَّا اِسْتَوْدَعْنَاكَ عَلىَ ما قَرَئْنَا مِنَ العِلْمِ
فَارْدُدْهُ عِنْدَ الحَاجَةِ. رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِحْوَانِنِا الذِّيْنَ
سَبَقُونَا بالايمانِ ولا تَجْعَلْ في قُلُوبِنا غِلاً للذين آمنوا ربنا إنك
رَؤُوفٌ رَحِيْم ٌربنا آتنا في الدنيا حسنةً وفي الأخرة حسنةً وقنا عذاب النارِ.
سُبْحانَ رَبِّكَ رَبِّ العِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلاَمُ على المُرْسَلِيْنَ
والحمد لله رب العالمين.
عِبادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بالعدلِ
والإحسانِ واِيْتَاءِ ذِي القُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ والمُنْكَرِ
والبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ. فَاذْكُرُوا اللهَ العَظِيْمَ
يَذْكُرْكُمْ واسئَلُوهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعِْطِيْكُمْ وَلَذِكِرُ اللهُ أَكْبَرُ.
أَقِمِ الصَّلاةَ.
Komentar
Posting Komentar