Merindukan Masyarakat yang Damai

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
 إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونكبره ونقول الله أكبر الله أكبر و لله الحمد الله أكبر كبيرا  والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا. الحمد لله الذي شرع للناس عيدا مباركا ونعيما مشكورا ويوما مسرورا . والصلاة والسلام على من أرسله الله رحمة للعالمين بشيرا ونذيرا وعلى آله وصحبه ومن تبعهم باءحسان الى يوم الدين مؤمنا ومخلصا . أشهد أن لا اله الا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله لا نبي بعده . أما بعد فيا عباد الله أوصيكم واياي بتقوي الله فقد فاز المتقون يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ


Bapak-bapak, Ibu-ibu, Saudara-saudari kaum Muslimin dan Muslimat sidang ‘Idul Fitri yang berbahagia.
            Pertama-tama marilah kita senantiasa bersyukur ke hadhirat Allah SWT yang telah memberikan kesempatan kepada kita untuk melaksanakan ibadah ‘Idul Fitri 1423 H pada pagi yang berbahagia ini. Semoga semua amal ibadah kita dapat diterima oleh Allah Yang Maha Kuasa dan dibalasi-Nya dengan pahala yang berlipat ganda.
            Kemudian shalawat dan salam semoga dilimpahkan Allah kepada Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah berjuang menyampaikan risalah Islamiyah sebagai petunjuk dan pedoman hidup bagi seluruh umat manusia. Begitu juga untuk keluarga dan sahabat-sahabat beliau serta siapa saja yang mengikuti sunnahnya dengan penuh keimanan dan keikhlasan sampai Hari Akhir nanti.
 
Allahu Akbar, Allahu Akbar, wa Lillahilhamd
            Pagi ini umat Islam, di mana-mana,  di seantero  bumi Allah ini sama-sama bergembira menyambut kedatangan ‘Idul Fitri. Tua muda, besar kecil, laki-laki perempuan, sama-sama mengumandangkan kalimat-kalimat suci dengan penuh semangat dan kegembiraan.
            Allahu Akbar, Allah Maha Besar, besar dari segala-galanya. Semua kekuatan, semua kekuasaan jadi kecil tak berarti dibandingkan dengan kekuasaan Allah Yang Maha Agung. Islam telah mengajarkan takbir kepada kita. Saat adzan kita mengucapkan takbir, membesarkan nama Alah. Saat iqamah kita mengucapkan takbir. Saat hendak memulai shalat kita mengucapkan takbir. Saat bayi dilahirkan kita mengucapkan takbir di telinganya. Saat menyembelih hewan kita mengucapkan takbir. Saat terjun di medan laga kita mengucapkan takbir. Pada hari ‘Id seperti saat ini kita mengucapkan takbir keras-keras, membesarkan asma Allah.
 
Allahu Akbar, Allahu Akbar, La Ilaha Illallah , Allahu Akbar, Allahu Akbar Wa Lillahil Hamd.
            La Ilaha Illallah, tiada Tuhan Yang disembah melainkan Engkau ya Allah, seluruh hidup kami, lahir batin, hanyalah dalam rangka beribadah kepada-Mu semata. Seluruh yang kami rasakan, yang kami pikirkan, yang kami ucapkan dan yang kami lakukan, hanyalah semata-mata untuk mencari ridha-Mu ya Allah.      
Alhamdulillah, segala puja puji hanya dipersembahkan kepda-Mu ya Allah. Tidak ada yang berhak dipuji selain Engkau, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Yang melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada hamba-hamba-Nya.

Sidang ‘Id yang berbahagia!
            Pada hari ‘Idul Fitri ini kita bergembira, seperti gembiranya orang yang sedang berbuka puasa, dan kita sedang menunggu kegembiraan yang lebih besar lagi, yaitu saat bersua dengan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda:
َلِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ بِفِطْرِهِ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ
“Orang yang berpuasa itu memiliki dua kegembiraan, yaitu saat berbuka puasa dia bergembira dengan makanannya, dan jika bersua Rabbnya dia bergembira dengan puasanya” (H.R. Bukhari Muslim)
            Kegembiraan orang yang berpuasa saat berbuka merupakan kegembiraan yang alami, karena dia mendapatkan kebebasannya kembali dari apa yang tadinya dilarang. Kegembiraan berbuka puasa juga merupakan kegembiraan yang relijius, karena dia berhasil menyelesaikan ibadah puasanya.
            Sebulan lamanya kita berjuang melawan hawa nafsu kita sendiri. Sekarang apakah kita termasuk orang-orang yang kembali dari medan juang dengan kemenangan, sehingga pantas menerima ucapan “minal ‘aidin wal faizin”? Tentu tidak mudah menjawabnya. Kita perlu meninjau dan mengoreksi diri kita masing-masing, apakah ibadah puasa sudah betul-betul kita kerjakan dengan iman dan ihtisaban atau kita hanya termasuk orang-orang yang hanya berpayah-payah menahan lapar dan haus tanpa arti yang bermakna.
            Rasulullah SAW sudah menjanjikan, siapa yang puasa bulan Ramadhan dengan iman dan ihtisaban akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu. Dalam hadits lain dikatakan oleh beliau, siapa yang mendirikan malam Ramadhan dengan iman dan ihtisaban diampuni dosa-dosanya yang terdahulu. Dengan arti kata, kalau kita berhasil mencapai seperti yang dijanjikan oleh Rasulullah SAW tersebut, tentu pada hari ini kita bebas dari segala macam dosa. Kembali seperti seorang bayi yang baru dilahirkan ke dunia. Bersih. Suci. Fitrah. Itulah sebabnya Hari Raya ini dinamai ‘Idul Fithri, artinya kembali ke fitrah. 
 
Allahu Akbar, Allahu Akbar, wa Lillahilhamd
Setelah kembali ke fithrah, kembali suci seperti hari pertama dilahirkan oleh ibu, maka marilah  mencoba  mengamati dan merenungkan  dengan hati yang suci dan pikiran yang jernih, keadaan  bangsa Indonesia, khususnya umat Islam  setelah dilanda oleh berbagai macam krisis empat tahun belakangan ini. Bermacam-macam krisis mendera kita berkepanjangan. Mulai dari krisis moneter, krisis ekonomi, krisis politik, krisis hukum, krisis kepercaaan sampai kepada  krisis moral. Semua krisis itu membuat bangsa kita terpuruk, tidak dapat menegakkan kepala sebagai khaira ummah, sekalipun mayoritas bangsa Indonesia adalah kaum Muslimin.
                Sekarang ini bangsa kita tidak lagi hidup dengan  tenang, rukun, aman, makmur. Beberapa fenomena suram dan kelam dapat kita saksikan di tengah-tengah masyarakat. Mari kita daftar beberapa fenomena suram berikut ini: Sesama anggota masyarakat tidak lagi saling menolong. Yang pintar tidak mengajari yang bodoh. Yang kaya tidak membantu yang miskin. Yang kuat tidak menolong yang lemah. Yang miskin, lemah dan bodoh tidak lagi mendo’akan yang kaya, kuat dan pintar. Kesalahfahaman sudah sulit  dijernihkan. Konflik tidak segera dapat datasi. Yang bengkok tidak gampang diluruskan, yang kusut tidak mudah diselesaikan. Marah lebih didahulukan daripada maaf. Kebencian mengalahkan rasa sayang.. Rasa aman berubah menjadi ketakutan, kemakmuran berganti dengan kemelaratan. Kecurigaan, kesalahfahaman, kebencian berkembang menjadi konflik berkepanjangan dan permusuhan.
            Apalagi belakangan ini,  setelah peristiwa WTC New York 11 September 2001, lebih-lebih lagi setelah teror bom Bali 12 November 2002, stigma teroris dialamatkan kepada sebagian umat Islam, bahkan oleh pihak-pihak tertentu dialamatkan juga kepada Islam itu sendiri. Sekalipun umat Islam di mana-mana di seluruh dunia sudah mengutuk teror yang biadab yang tidak mengenal belas kasih itu, dan sekalipun keterlibatan umat Islam dalam peristiswa itu tidak pernah dibuktikan dengan jelas, tetapi stigma teroris dan suka kekerasan tetap dialamatkan kepada umat Islam. Kalau pada bulan-bulan yang lalu, akibat stigma tersebut tidak begitu dirasakan oleh bangsa Indonesia, lain halnya sekarang, setelah teror bom Bali, kita sebagai bangsa dan umat, dapat merasakan dampak negatif langsung dari stigma tersebut. Lima orang  warna negara Indonesia dideportasi  secara kasar dari  Meksiko bagitu mereka akan memasuki negara itu di pintu imigrasi air port setempat. Sekalipun mereka memiliki visa dan undangan untuk menghadir Seminar, mereka tetap dideprtasi secara tidak manusiawi pada saat itu juga, tanpa memberikan mereka kesempatan istirahat setelah melakukan perjalanan 26 jam dari Jakarta. Begitu juga tindakan kasar dan tidak bersahabat yang dilakukan oleh Australia terhadap beberapa warga negara Indonesia yang dicurigai mengetahui atau terlibat jaringan Jama’ah Islamiyah. Sebelumnya kita sudah dipermalukan dan sama sekali tidak dihormati oleh tetangga kita dalam kasus pemulangan hampir setengah juta orang tenaga kerja Indonesia dari Malaysia dengan alasan keberadaan mereka di sana ilegal. Belum lagi tindak kekerasan yang terjadi di tengah-tengah dan oleh anggota masyarakat sendiri. Tawuran, amukan massa, pembunuhan, pembakaran manusia, penjarahan dan lain sebagainya telah menjadi peristiwa biasa karena sangat seringnya terjadi. Alhasil, sekarang ini kita paling merasakan telah hilangnya rasa aman dan kedamaian di negara kita, padahal mayoritas kita adalah kaum Muslimin yang sudah tentu memahami dengan baik bahwa Islam adalah agama yang paling di depan mengajarkan kedamaian.. 
 
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Wa Lillahilhamd!
Sidang ‘Id yang berbahagia!
            Damai, perdamaian atau kedamaian dalam bahasa Al-Qur’an disebut dengan as-salâm. Kata ini terulang dalam Kitab Suci Al-Qur’an sebagai 42 kali. Islam sebagai nama agama Allah pun berasal dari akar kata yang sama dengan as-salâm. Islam di samping berarti tunduk, patuh, menyerah dan pasrah, juga berarti mencari salam, berdamai dan mencari kedamaian, baik kedamaian di dunia maupun di akhirat. Islam mengajarkan sikap bgerdamai dan mencari kedamaian melalui sikap menyerah, pasrah dan tunduk pada Allah secara tulus.
Sikap menyerah, tunduk dan paarah bukan hanya pilihan hidup yang benar untuk manusia, tetapi juga merupakan pola wujud (mode of existence) seluruh alam raya beserta isinya. Karena itu jika manusia diseru untuk memilih sikap hidup tunduk, menyerah dan pasrah kepada Tuhan, yaitu untuk berislam, maka tidak lain ialah seruan agar manusia mengikuti pola hidup yang sama dengan pola wujud alam raya. Yang dihasilkan oleh sikap itu tidak saja kedamaian dengan Tuhan sendiri, dan sesama manusia, tetapi juga dengan sesama makhluk, sesama isi seluruh alam raya, dan jagad raya itu sendiri. (Islam Agama Peradaban 1995:261)
Kedamaian sejati dan abadi hanya ada di sorga, oleh sebab itu Allah SWT menyebut sorga dengan istilah Darussalam, yang secara harfiah berarti negeri kedamaian. Allah berfirman
وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى دَارِ السَّلَامِ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam). (Q.S. Yunus 10:25)
فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ(125)وَهَذَا صِرَاطُ رَبِّكَ مُسْتَقِيمًا قَدْ فَصَّلْنَا الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَذَّكَّرُونَ(126)لَهُمْ دَارُ السَّلَامِ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَهُوَ وَلِيُّهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ(127)
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. Dan inilah jalan Tuhanmu; (jalan) yang lurus. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan ayat-ayat (Kami) kepada orang-orang yang mengambil pelajaran. Dan inilah jalan Tuhanmu; (jalan) yang lurus. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan ayat-ayat (Kami) kepada orang-orang yang bersedia merenungkan. Bagi mereka ini adalah Darussalam di sisi Tuhan mereka, dan Dia adalah Pelindung mereka berkenaan dengan segala sesuatu yang mereka kerjakan. ” (Q.S. Al-An’am 6:125-127)
 Digambarkan oleh Al-Qur’an bahwa penghuni sorga nanti memberikan salam penghormatan dengan kata salam sebagaimana yang dapat kita baca dalam Surat Yunus ayat 9-10:
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ يَهْدِيهِمْ رَبُّهُمْ بِإِيمَانِهِمْ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهِمُ الْأَنْهَارُ فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ(9)دَعْوَاهُمْ فِيهَا سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَتَحِيَّتُهُمْ فِيهَا سَلَامٌ وَءَاخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ(10)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka diberi petunjuk oleh Tuhan mereka karena keimanannya, di bawah mereka mengalir sungai-sungai di dalam surga yang penuh keni`matan. Do`a mereka di dalamnya ialah: "Subhanakallahumma", dan salam penghormatan mereka ialah: "Salam". Dan penutup do`a mereka ialah: "Alhamdulillaahi Rabbil `aalamin." (Q.S. Yunus 10:9-10)

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Wa Lillahilhamd!
Sidang ‘Id yang berbahagia!
Tapi dunia bukanlah sorga. Sekalipun banyak lembaga-lembaga Islam dinamai dengan Darussalam, dan sehari-hari umat Islam dianjurkan untuk menebarkan salam dengan ucapan Assalamu ‘Alaikum warahmatullahi wabarakatuh, bahkan shalat pun diakhiri dengan salam mulia ini, tetapi kedamaian yang sejati tidak akan didapat di dunia ini. Di samping ada manusia yang beriman, ada pula yang kufur. Di samping ada yang menginginkan dan berupaya terus menerus untuk mewujudkan kedamaian dan perdamaian, tetap ada saja yang berbuat sebaliknya. Oleh sebab itu, untuk menjaga tegaknya kedamaian di dalam kehidupan di dunia ini, diperlukan tindakan-tindakan yang selintas sepertinya berlawanan dengan perdamaian.
Kedamaian harus ditegakkan dengan aturan hukum yang mengikat, lengkap dengan sanksi-sanksinya, tidak cukup hanya dengan himbauan moral semata. Untuk tindak kejahatan yang bertentangan dan merusak kedamaian hidup bermasyarakat, baik yang menyangkut harta, nyawa, kesucian ketuturunan, kebebasan berpikir dan lebih-lebih lagi kehormatan agama, ditetapkanlah sanksi-sanksi yang dilaksanakan di dunia, di samping dosa di Akhirat nanti (jika tidak bertobat). Dalam perspektif inilah kita melihat hukum Islam terhadap pencurian, penipuan, perampokan, penganiayaan, pembunuhan, perzinaan, peminum khamar dan sejenisnya, dan lebih-lebih lagi hukuman bagi orang yang mempermainkan agama (murtad) atau menghalangi orang lain menjalankan ajaran agamanya.
Sekalipun dibenarkan ada sanksi-sanksi untuk tindak pidana yang merusak kedamaian hidup bermasarakat, tetapi Islam tidak membenarkan tindakan anarkis. Otoritas pelaksanaan hukum, termasuk eksekusi tidak pernah diberikan kepada perorangan, kelompok atau pihak-pihak lain di luar penguasa yang sah.  Tindakan sebagian anggota masyarakat, sekali pun atas nama agama, yang melakukan perusakan tempat-tempat maksiat, merajam pezina, membunuh pencopet dan maling yang ketangkap, adalah tindakan anarkis yang tidak dibenarkan oleh Islam. Sekalipun misalnya, perbuatan tersebut hanya sebagai reaksi, atau akibat kekecewaan dan ketidakpercaaan terhadap aparat penegak hukum, tetap saja tidak dibenarkan, karena kesalahan pihak lain tidak membenarkan kesalahan yang kita lakukan.
 Pemaksaan kehendak, intimmidasi, teror, walaupun dengant ujuan yang baik atau atas nama agama dan kemanusiaan, tetap tidak dibenarkan, karena dalam Islam tujuan tidak menghalkan cara. Al-ghâyah lâ tubarriru al-wasîlah. Di samping niat (tujuan), proses yang sesuai dengan ajaran Islam adalah hal yang sangat penting. Penilaian tidak diberikan oleh Allah berdasarkan hasil, tetapi berdasarkan proses. Selama seorang Muslim tetap konsisten dengan proses yang benar, tidak bertentangan dengan syari’ah Islam sekalipun secara lahiriah, materi, tidak berhasil, dia akan tetap mendapatkan ganjaran di sisi Allah SWT. Tidak demikian sebaliknya, sekalipun secara lahiriah duniawiyah mendapatkan hasil yang gemilang, tetapi dicapai dengan cara yang salah, amalnya tidak ada artinya di sisi Allah, bahkan dia akan mendaptkan dosa dari penyimpangan yang telah dia lakukan.
Terorsme, misalnya, jika dilakukan untuk dan atas nama agama sekalipun, tidak pernah dibenarkan oleh Islam.Tetapi terorisme juga tidak boleh dihentikan dengan teroisme, sekalipun atas nama negara. Terosis harus dihukum setelah dibuktikan di pengadilan yang jujur dan terbuka bahwa dia memang teroris. Jangan sampai menghukum orang yang tidak bersalah sebagai kambing hitam karena ketidakmampuan kita mencari teroris yang sebenarnya, atau karena ada agenda yang tersembunyi yang ingin dicapai. Menghentikan terorisme tidak dapat hanya secara parsial dan sporadis, tetapi harus secara menyeluruh dengan menghentikan segala penyebabnya. Terorisme muncul antara lain karena ketidakadilan, ketidakberadayaan menghadapi kesewenangan dan kezaliman sebuah kekuasaan. Terorisme bisa muncul sebagai reaksi terhadap teror negara terhadap kemanusiaan. Oleh sebab itu, untuk mengakhiri terorisme, akhirilah terorisme negara. To end terorism, end state terorism, kata para ahli.

Sidang ‘Id yang berbahagia!
Seperti telah disebutkan sebelumnya, pada dasarnya Islam mengingnkan kedamaian dan perdamaian, tetapi untuk alasan tertentu perangpun diizinkan. Pertama, perang diizinkan untuk membela diri. Apabila umat Islam dianiaya, diusir dari negeri mereka sendiri atau diserang oleh musuh. Allah berfirman:
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ(39)الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ(40)
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Q.S. Al-Hajj 22:39-40).
Kedua, untuk menjamin kebebasam beragama. Islam memang tidak membenarkan pemaksaan untuk masuk agama, tetapi juga tidak membenarkan pemaksanan untuk tidak beragama. Semua kekuatan yang menghalang-halangi kebebasan beragama, dan menghalang-halangi umat Islam dalam menjalankan ajaran agamanya boleh diperangi. Al-Qur’an menyebut tindakan menghalangi kebebasan beragama itu dengan fitnah yang harus diperangi. Allah berfirman:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. Al-Anfal 8:39)
Dalam berperang setiap Muslim harus selalu menunjukkan akhlaq yang tinggi karena perang dalam Islam mempunyai tujuan mulia untuk menegakkan keadilan, membela kebenaran dan menjamin kebebasan beragama. Tujuan yang mulia itu harus dilaksanakan dengan cara yang mulia pula. Oleh sebab itu Islam memberikan rambu-rambu yang harus dipatuhi oleh setiap pasukan Muslim dalam perang. Dengan memahami Surat Al-Baqarah ayat 2191-193 para mufassir menjalankan rambu-rambu tersebut: (1) Tidak boleh melakukan tindakan yang melampau batas seperti bertindak kejam dan sadis; (2) Tidak boleh membunuh orang-orang yang lemah seperti anak-anak, orang-orang tua, kaum perempuan, orang-orang yang sedang sakit, orang-orang yang tidak turut berperang, musuh-musuh yang menyerah dan lain-lain; (3) Tidak boleh merusak tanam-tanaman, hewan ternak, rumah-rumah penduduk, bangunan umum dan lain-lain yang tidak ada huhungan langsung dengan peperangan; (4) Tidak boleh beperang disekitar Masjid Haram, kecuali kalau pihak musuh memerangi kaum Muslimin di tempat suci tersebut; (5) Tidak boleh menyerang jika pihak musuh sudah menghentikan peperangan; dan (6) Mengadakan perdamaian yang didasarkan kepada ketentuan-ketentuan yang wajar dan adil dan menghentikan permusuhan kecuali terhadap orang-orang yang masih membangkang. Mari kita lihat peperangan modern yang dilakukan oleh umat manusia sekarang ini, apakah sudah sesuai dengan etika perang menurut Al-Qur’an. Betapa banyak jatuh korban sipil di Iraq dan Afghanistan misalnya atau di bagian bumi lainnya yang dilakukan oleh pihak yang mengaku memimpin peradaban dunia.
Begitulah konsep damai, perdamaian dan kedamaian dalam idelaitasnya seperti yang dituntunkan oleh Al-Qur’an, tinggal bagaimana kita sebagai pemeluk Islam membuktikannya kepada dunia, bahwa kita umat Islam mencintai kedamaian. Tidak hanya umat Islam, seluruh warga dunia tentu merindukan kedamaian walaupun tidak secara absolut di atas permukaan bumi ini. 


[1] Staf Pengajar Magister Studi Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Direktur Pondok Pesantren Budi Mulia Yogakarta dan Ketua Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus Pimpinan Pusat  Muhammadiyah 2000-2005.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Akidah Islam

Akibat Memakan Harta Riba

Dampak Teknologi bagi Masyarakat