Upaya Meningkatkan Minat Baca Masyarakat
-
Bapak Kepala Perpustakaan
Nasional RI yang saya hormati;
-
Para Pejabat Struktural dan
Pejabat Fungsional Pustakawan dalam lingkungan Perpustakaan Nasional RI
dan Instansi lainnya;
-
Para undangan, hadirin yang berbahagia;
-
Puji syukur kita panjatkan
kehadirat Allah SWT yang selalu
melimpahkan nikmatnya yang begitu banyak
kepada kita hingga saat ini, sehingga bilamana kita mau menghitungnya maka pastilah
tidak ada di antara kita yang dapat menentukan berapa jumlahnya.
-
Terimakasih yang
sedalam-dalamnya saya sampaikan kepada Kepala
Perpustakaan Nasional RI Bapak Drs. Dady P. Rachmananta, MLIS yang telah
memperkenankan saya sebagai salah
seorang yang dipercayakan beliau untuk menyampaikan Orasi Ilmiah pada saat ini.
-
Terimakasih yang
sedalam-dalamnya pula tidak luput saya sampaikan kepada Deputi Bidang
Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan Ibu Hj. Suprihati, SH, MBA yang telah
mendorong saya untuk turut serta dalam Orasi Ilmiah saat ini. Demikian pula
kepada Kepala Pusat Pengembangan Pustakawan Ibu Hj. Kartini, SH beserta seluruh
Staf beliau yang dengan penuh sabar menunggu penyelesaian penyusunan Orasi saya
ini yang tertunda-tunda, lantaran penyakit
polycitimeapera (kekentalan darah) memaksa saya untuk tidak bisa
beraktivitas selama 3 (tiga) minggu dan mengharuskan untuk flebotomi yaitu
membuang darah saya sebanyak 750 cc.
-
Bapak Kepala Perpustakaan
Nasional RI yang saya hormati para pejebat struktural dan pejabat fungsional
Pustakawan di lingkungan Perpustakaan Nasional
RI dan Instansi lainnya serta
para hadirin yang berbahagia.
Perkenankanlah dalam kesempatan ini saya membacakan
pidato Ilmiah saya yang berjudul :
MENINGKATKAN MINAT BACA
MASYARAKAT
MELALUI SUATU KELEMBAGAAN
NASIONAL
Wacana Ke Arah Pembentukan Sebuah Lembaga Nasional
Pembudayaan Masyarakat Membaca
Oleh : Drs. H. Athaillah Baderi
I. KATA PENGANTAR
Wacana pembentukan sebuah
Lembaga Nasional Pembudayaan Masyarakat Membaca, semula saya lemparkan dalam
forum Seminar Nasional dan Pembentukan Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) pada tanggal 23 s.d 25
Oktober 2001 di Istana Bogor. Ide tersebut menggelembung pada Sidang Komisi C
hingga melahirkan Rekomendasi.
Selanjutnya untuk yang kedua
kalinya saya coba mengangkat wacana ini dalam Rapat Koordinasi Nasional
Perpustakaan Nasional R.I pada tanggal 2 s.d 5 Juni 2003 di Anyer Provinsi
Banten melalui sebuah makalah sumbangan saya yang berjudul : “Gerakan
Nasional Membaca Melalui
Pelembagaan; Suatu Pemikiran ke Arah
Akuntabilitas Pemerintah”. Seluruh peserta Sidang Komisi III memberikan
tanggapan dan sepakat untuk mengusulkan Pembentukan Dewan Pengembangan
Perpustakaan dan Minat Baca.
Konon menurut Sahibul Hikayat,
dalam Upacara Pencanangan Gerakan Membaca Nasional yang diresmikan oleh
Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri pada tanggal 12 November
2003 di Istana Negara Jakarta, Menteri Pendidikan Nasional A. Malik Fadjar dan
Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno serta Kepala Perpustakaan Nasional Dady P. Rachmananta
telah menandatangani Deklarasi Pencanangan Gerakan Membaca Nasional.
Dari sepuluh butir pernyataan yang ditandatangani, di antaranya butir satu
menyatakan Membentuk Badan Pengembangan Budaya Baca Nasional (BPBBN).
Pada mulanya saya merasa lega
dengan penandatangan deklarasi tersebut karena wawasan yang saya mimpikan sejak
tahun 2000 ketika saya mulai bertugas sebagai pustakawan pada Perpustakaan Nasional RI, telah
membumbung tinggi di udara di atas Istana Negara. Namun, ternyata balon mengempis
tanpa suara dan tanpa tanda-tanda, jatuh ke bumi, tiada seorang pun tahu dan
peduli. Nurani kecil saya berdialog
dengan bahasa hati yang berbunyi “ Beginikah bangsaku Indonesia,
beginikah perpustakaanku yang hanya bisa berhura-hara dalam acara serimonial
yang megah dengan mudahnya membuat keputusan-keputusan tanpa ditindak lanjuti ?
Di saat Munas II dan Seminar
Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) pada tanggal 1 s.d 2 Maret 2005 di
Hotel Century Park Jakarta, untuk kesekian kalinya saya coba meniup kembali
balon wawasan pembentukan Lembaga Nasional Pembudayaan Masyarakat Membaca itu.
Sebuah komisi melahirkan rekomendasi perlunya pembentukan suatu Badan
Nasional Pembinaan Minat Baca
Masyarakat. Namun dimana rimbanya rekomendasi itu, entah sudah disampaikan
kepada para pengambil keputusan atau masih tersimpan dalam arsip, wallahu a’lam
bissawab.
Pada kesempatan Orasi Ilmiah
Pengukuhan Pustakawan Utama saat ini perkenankanlah saya mengulas kembali
wawasan pembentukan Lembaga Nasional Pembudayaan Masyarakat Membaca dengan
harapan akan menemukan kesepahaman jalan pikiran dengan para hadirin dalam
acara ini. Selanjutnya bersama-sama memperjuangkannya pembentukannya tanpa
reserve dan diharapkan ada sebuah panitia pengambil inisiatif untuk mewujudkan
ide dimaksud. Meskipun saya menyadari mungkin dalam benak pikiran sebagian
orang bahwa membentuk sebuah lembaga baru bukanlah suatu solusi yang menarik
dalam mengatasi masalah minat baca. Tetapi pengalaman selama 34 (tiga puluh
empat) tahun bergelut didunia perpustakaan yang mengusahakan peningkatan minat
baca hanya dengan seminar kesenian yang tidak membuahkan apa-apa maka hanya
berketetapan hati untuk mengangakat masalah minat baca kecuali dengan membentuk
suatu lembaga baru.
II. LATAR BELAKANG
A. Rendahnya Kemampuan Baca
Kemampuan
membaca (Reading Literacy) anak-anak Indonesia sangat rendah bila
dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya, bahkan dalam kawasan
ASEAN sekali pun. International Association for Evaluation of Educational (IEA)
pada tahun 1992 dalam sebuah studi kemampuan
membaca murid-murid Sekolah Dasar Kelas IV pada 30 negara di dunia,
menyimpulkan bahwa Indonesia menempati urutan ke 29 setingkat di atas Venezuela
yang menempati peringkat terakhir pada urutan ke 30.
Data di
atas relevan dengan hasil studi dari Vincent Greannary yang dikutip oleh Worl
Bank dalam sebuah Laporan Pendidikan “Education in Indonesia From
Cricis to Recovery“ tahun 1998. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa kemampuan membaca anak-anak kelas
VI Sekolah Dasar kita hanya mampu meraih
kedudukan paling akhir dengan nilai 51,7 setelah Filipina yang memperoleh nilai
52,6 dan Thailand dengan nilai 65,1 serta Singapura dengan nilai 74,0 dan
Hongkong yang memperoleh nilai 75.5
Buruknya
kemampuan membaca anak-anak kita sebagaimana data di atas berdampak pada
kekurangmampuan mereka dalam penguasan bidang ilmu pengetahuan dan matematika.
Hasil tes yang dilakukan oleh Trends in International Mathematies and
Science Study (TIMSS) dalam tahun
2003 pada 50 negara di dunia terhadap para siswa kelas II SLTP, menunjukkan
prestasi siswa-siswa Indonesia hanya mampu meraih peringkat ke 34 dalam kemampuan bidang matematika dengan nilai 411 di bawah nilai rata-rata
internasional yang 467. Sedangkan hasil tes bidang ilmu pengetahuan mereka
hanya mampu menduduki peringkat ke 36 dengan nilai 420 di bawah nilai rata-rata
internasioal 474. Dibandingkan dengan anak-anak Malaysia mereka telah berhasil
menduduki peringkat ke 10 dalam kemampuan bidang
matematika yang memperoleh nilai 508 di atas nilai rata-rata internasional.
Dan dalam bidang ilmu pengetahuan
mereka menduduki peringkat ke 20 dengan nilai 510 di atas nilai rata-rata
internasional. Dengan demikian tampak jelas bahwa kecerdasan bangsa kita sangat jauh ketinggalan di bawah negara-negara
berkembang lainnya.
United
Nations Development Programme (UNDP) menjadikan angka buta huruf dewasa (adult
illiteracy rate) sebagai suatu barometer dalam mengukur kualitas suatu
bangsa. Tinggi rendahnya angka buta huruf akan menentukan pula tinggi
rendahnya Indeks Pembangunan Manusia
(Human Development Index – HDI)
bangsa itu.
Berdasarkan
laporan UNDP tahun 2003 dalam “Human Development Report 2003” bahwa Indeks Pembangunan
Manusia (Human Development Indeks – HDI)
berdasarkan angka buta huruf menunjukkan bahwa “pembangunan manusia di Indonesia“ menempati urutan yang ke 112
dari 174 negara di dunia yang dievaluasi. Sedangkan Vietnam menempati urutan ke 109,
padahal negara itu baru saja keluar dari konflik politik yang cukup besar.
Namun negara mereka lebih yakin bahwa dengan “membangun manusianya“ sebagai prioritas terdepan, akan mampu
mengejar ketinggalan yang selama ini mereka alami.
Melihat
beberapa hasil studi di atas dan laporan United Nations Development
Programme (UNDP) maka dapat diambil kesimpulan (hipotesis) bahwa “ kekurangmampuan
anak-anak kita dalam bidang matematika dan bidang ilmu pengetahuan, serta tingginya angka buta huruf dewasa (adult illiteracy rate) di Indonesia
adalah akibat membaca belum menjadi
kebutuhan hidup dan belum menjadi
budaya bangsa. Oleh sebab itu
membaca harus dijadikan kebutuhan hidup dan budaya bangsa kita. Mengingat
membaca merupakan suatu bentuk kegiatan budaya menurut H.A.R Tilaar (1999 :
381) maka untuk mengubah perilaku masyarakat gemar membaca membutuhkan suatu
perubahan budaya atau perubahan tingkah laku dari anggota masyarakat kita.
Mengadakan perubahan budaya masyarakat memerlukan suatu proses dan waktu
panjang sekitar satu atau dua generasi, tergantung dari “politicaal will pemerintah dan masyarakat“ Ada pun ukuran waktu sebuah generasi adalah
berkisar sekitar 15 – 25 tahun.
B. Ancaman (Threats) Era Globalisasi
Apabila
rendahnya minat dan kemampuan membaca masyarakat kita sebagaimana
terwakili oleh anak-anak dalam beberapa penelitian di atas dibiarkan sampai
pada suatu saat tetap status quo maka dalam persaingan global kita akan
selalu ketinggalan dengan sesama negara berkembang, apalagi dengan
negara-negara maju lainnya. Kita tidak akan mampu mengatasi segala persoalan
sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan lainnya selama SDM kita tidak
kompetitif, karena kurangnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, akibat lemahnya kemauan dan kemampuan
membaca.
Pengalaman
pahit telah menerpa bangsa kita pada pertengahan tahun dalam bulan Juli 1997.
Akibat krisis moneter yang melanda kawasan Asia Tenggara dan Kawasan Asia Timur
maka ekonomi kita telah tercabik-cabik.
Perkelanaan
krisis ekonomi kita terlalu panjang waktunya bila dibandingkan dengan
negara-negara kawasan Asia Tenggara dan kawasan Asia Timur. Korea Selatan, Thailand,
Malaysia
dan Singapura, mampu mengatasi krisis ekonomi bangsanya relatif dalam waktu
pendek hanya sekitar 2 – 3 tahun saja. Mereka telah mempunyai SDM yang
kompetitif, unggul, kreatif, siap menghadapi segala bentuk perubahan sosial,
ekonomi, politik, budaya dan lainnya. Mereka telah siap jauh-jauh waktu sebelum
diberlakukanya perdagangan bebas kawasan ASEAN tahun 2003 yaitu Asean Free
Trade Area (AFTA) atau perdagangan bebas dalam kawasan Asia Pasifik yaitu Asia
Pacific Ekonomic Cooperation (APEC) yang akan dimulai pada tahun 2020
mendatang. Kesiapan SDM Unggul itulah sebagai kunci kemampuan suatu bangsa
dalam menghadapi segala bentuk tantangan
baik dari dalam maupun dari luar.
Kehidupan
abad 21 ini menurut H.A.R Tillar (1999 : 55) adalah menuntut manusia unggul dan
hasil karya yang unggul pula. Keunggulan dimaksud adalah keunggulan
partisipatoris, artinya manusia unggul yang selalu ikut serta secara aktif di
dalam persaingan yang sehat untuk mencari dan mendapatkan yang terbaik dari
yang baik. Keunggulan partisipatoris dengan sendirinya berkewajiban untuk
menggali dan mengembangkan seluruh potensi individual yang akan digunakan di
dalam kehidupan yang penuh persaingan
yang semakin lama semakin tajam dan akan menjadi kejam bagi manusia yang tidak
mau bekerja keras dan belajar keras.
Suatu upaya untuk mendukung perwujudan manusia unggul, maka kita harus
mengadakan perubahan sikap dan perilaku budaya dari tidak suka membaca
menjadi masyarakat membaca (reading
society). Karena membaca menurut Gleen Doman (1991 : 19) dalam bukunya How
to Teach Your Baby to Read menyatakan bahwa membaca merupakan salah satu fungsi yang paling penting dalam hidup.
Semua proses belajar didasarkan pada kemampuan membaca. Selanjutnya melalui
budaya masyarakat membaca kita akan melangkah menuju masyarakat belajar (learning society). Prinsip belajar dalam
abad 21 menurut UNESCO (1996)
harus didasarkan pada empat pilar yaitu : 1) learning to thing – belajar berpikir ; 2) learning to do ---- belajar berbuat
; 3) learning to be --- belajar untuk tetap hidup, dan 4) learning to live together ---- yaitu
belajar hidup bersama antar bangsa. Berangkat dari terwujudnya masyarakat
belajar (learning society) maka akan
mencapai bangsa yang cerdas (educated
nation) sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 menuju masyarakat
Madani (Civil Society) Bal Dhatun
Tayyibatun Wa Rabbun Ghafuur.
C. Lemahnya Sarana dan Prasarana Pendidikan
Salah satu faktor yang menyebabkan kemampuan membaca anak-anak kita
tergolong rendah karena sarana dan prasarana pendidikan khususnya perpustakaan
dengan buku-bukunya belum mendapat prioritas dalam penyelenggaraannya.
Sedangkan kegiatan membaca membutuhkan adanya buku-buku yang cukup dan bermutu
serta eksistensi perpustakaan dalam menunjang proses pembelajaran.
Faktor lain yang menghambat kegiatan
anak-anak untuk mau membaca adalah kurikulum yang tidak secara tegas
mencantumkan kegiatan membaca dalam suatu bahan kajian, serta para tenaga
kependidikan baik sebagai guru, dosen maupun para pustakawan yang tidak
memberikan motivasi pada anak-anak peserta
didik bahwa membaca itu penting untuk menambah ilmu pengetahuan, melatih
berfikir kritis, menganalisis persoalan, dan sebagainya.
1.
Perpustakaan dan Buku
Di hampir
semua sekolah pada semua jenis dan jenjang pendidikan, kondisi perpustakaannya
masih belum memenuhi standar sarana dan prasarana pendidikan. Perpustakaan
sekolah belum sepenuhnya berfungsi. Jumlah buku-buku perpustakaan jauh dari
mencukupi kebutuhan tuntutan membaca sebagai basis pendidikan, serta peralatan
dan tenaga yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Padahal perpustakaan sekolah
merupakan sumber membaca dan sumber belajar sepanjang hayat yang sangat vital
dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Buku-buku bermutu yang menyangkut
isi, bahasa, pengarang, lay-out atau penyajiannya yang sesuai dengan tingkat
pendidikan dan kecerdasan seseorang akan dapat “merangsang berahi membaca”
orang tersebut. Demikian pula kalau buku-buku dalam semua jenisnya tersebar
luas secara merata ke berbagai lapisan masyarakat, mudah didapat dimana-mana,
serta harganya dapat dijangkau oleh semua tingkatan sosial ekonomi masyarakat,
maka kegiatan membaca akan tumbuh dengan sendirinya. Pada akhirnya akan
tercipta sebuah kondisi “masyarakat konsumen membaca” yang akan
mengkonsumsi buku-buku setiap hari sebagai kebutuhan pokok dalam hidup
keseharian.
Perluasan jangkauan layanan
perpustakaan baik melalui perpustakaan menetap atau perpustakaan mobil keliling
di pusat-pusat kegiatan masyarakat desa, RW/RT secara merata dan
berkesinambungan akan dapat menjadikan masyarakat membaca (reading society).
Semakin besar peluang masyarakat untuk membaca melalui fasilitas yang tersebar
luas, semakin besar pula stimulasi membaca sesama warga masyarakat.
2.
Sistem Pendidikan
Nasional dan Kurikulum
Sistem Pendidikan Nasional yang
diatur dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 diharapkan dapat memberikan
arah agar tujuan pendidikan di tanah air semakin jelas dalam mengembangkan
kemampuan potensi anak bangsa agar terwujudnya SDM yang kompetitif dalam era
globalisasi, sehingga bangsa Indonesia
tidak selalu ketinggalan dalam kecerdasan intelektual. Oleh sebab itu
penyelenggaraan pendidikan harus memenuhi beberapa prinsip antara lain :
a)
sebagai suatu proses
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang
berlangsung sepanjang hayat.
b)
Mengembangkan budaya
membaca, menulis dan berhitung bagi segenap
warga masyarakat.
Kedua prinsip di atas harus saling bergayut. Artinya
dalam proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sepanjang hayat,
harus diisi dengan kegiatan pengembangan budaya membaca, menulis dan
berhitung.
Pengembangan kurikulum secara
berdiversifikasi khususnya dalam Bahan Kajian Bahasa Indonesia harus memuat
kegiatan pengembangan budaya membaca dan menulis dengan alokasi waktu yang
cukup memberi kesempatan banyak untuk membaca.
Demikian pula
dalam bahan kajian seni dan budaya, cakupan kegiatan menulis harus jelas
dan berimbang dengan kegiatan menggambar/melukis, menyanyi dan menari.
Kegiatan membaca dan menulis tidak
saja menjadi prioritas dalam Bahan Kajian Bahasa Indonesia dan Bahan Kajian
Seni dan Budaya, tetapi hendaknya juga secara implicit harus tercantum dalam
Bahan-bahan Kajian lainnya.
3.
Paradigma Tenaga
Kependidikan
Guru, dosen maupun para pustakawan
sekolah sebagai tenaga kependidikan, harus merubah mekanisme proses
pembelajaran menuju “membaca” sebagai suatu sistem belajar sepanjang
hayat.
Setiap guru, dosen dalam semua bahan
kajian harus dapat memainkan perannya sebagai motivator agar para peserta didik
bergairah untuk banyak membaca buku-buku penunjang kurikulum pada bahan kajian
masing-masing. Misalnya dengan memberi tugas-tugas rumah setiap kali selesai pertemuan dalam
proses pembelajaran. Dengan sistem reading drill secara kontinu maka
membaca akan menjadi kebiasaan peserta didik dalam belajar.
Pustakawan pada perpustakaan sekolah yang
didukung oleh para guru kelas sedapat mungkin harus dapat menciptakan “kemauan”
para peserta didik untuk banyak membaca dan meminjam buku-buku di perpustakaan.
Sistem promosi perpustakaan harus diadakan dan diprioritaskan secara kontinu
agar perpustakaan dikenal apa fungsi, arti, kegunaan dan fasilitas yang dapat
diberikannya. Tanpa promosi perpustakaan yang gencar, mustahil orang akan
mengenal dan tertarik untuk datang ke perpustakaan.
III. UPAYA PEMBUDAYAAN MEMBACA
A. Diskusi dan Seminar
Sejak
saya menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Perpustakaaan Negara Banjarmasin
tanggal 1 Agustus 1972 sudah terjadi hiruk-pikuk penyelenggaraan seminar,
diskusi, simposium, lokakarya, dan beberapa istilah lainnya, baik di pusat
maupun di daerah-daerah yang membicarakan tentang rendahnya minat baca masyarakat
kita. Saya pun jadi ikut-ikutan latah dengan menyelenggarakan Seminar Minat
Baca Generasi Muda Kotamadya Banjarmasin pada September 1973, bekerjasama
dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Banjarmasin dan Dewan
Mahasiswa Universitas Lambung – Mangkurat serta IAIN Antasari dalam rangka
Pembentukan Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Daerah Kalimantan Selatan.
Bila
kita amati dari satu seminar ke seminar lainnya seakan-akan kita berada dalam
lingkaran setan, dimana masalah minat baca sepertinya tidak berujung
pangkal dan sulit untuk mencari penyelesaiannya. Semua masalah selalu menghadapi jalan buntu, oleh
sebab itu forum seminar hanya sebatas mengumbar idea, wawasan, keluh kesah,
konsep, dan setelah itu panitia penyelenggara maupun pemakalah tidur lelap
tanpa menindak lanjuti keputusan atau konsep yang telah diambil. Besok-besok
diselenggarakan lagi seminar dengan tema yang sama yaitu masalah minat baca
yang rendah. Hingga saat ini sudah 33 (tiga puluh tiga) tahun saya menjadi
pegawai perpustakaan, namun masalah minat baca, perpustakaan, buku, sistem
pendidikan, kurikulum, dan sebagainya seolah-olah tidak dapat diselesaikan oleh
siapa pun karena masalahnya dianggap terlalu rumit dan saling kait-berkait.
Dengan demikian timbul pertanyaan, benarkah masalah minat baca begitu ruwet dan
tidak bisa diselesaikan di negara kita
ini. Ataukah solusi penyelesaiannya yang
tidak menyentuh akar permasalahan.
B. Pembentukan Beberapa
Organisasi
Salah
satu upaya pengentasan rendahnya minat baca masyarakat, beberapa kelompok
profesi membentuk organisasi seprofesi dengan salah satu tujuannya adalah untuk
meningkatkan minat baca sesuai dengan bidang masing-masing. Misalnya para
penerbit buku mendirikan organisasi Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), para
tokoh buku mendirikan Gabungan Toko Buku Seluruh Indonesia (GATSBI), para
pustakawan mendirikan Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI), kelompok perpustakaan
mendirikan Klub Perpustakaan Indonesia (KPI), para pencita buku mendirikan Perhimpunan Masyarakat Gemar
Membaca (PMGM), kelompok peduli minat baca mendirikan Gerakan Pemasyarakatan Minat
Baca (GPMB), kelompok-kelompok lainnya mendirikan berbagai organisasi. Lembaga
Sosial Masyarakat (LSM), Yayasan-yayasan membaca dan buku serta berbagai
organisasi lainnya, telah menebar kegiatan-kegiatan dalam upaya meningkatkan
minat baca.
Organisasi-organisasi,
yayasan LSM dan lain-lain tersebut kenyataannya juga tidak mampu mengungkit minat baca (meminjam istilah
H.A. Tilaar) masyarakat lebih banyak lagi. Kegiatan-kegiatan mereka hanya
berputar-putar dalam seminar-seminar, mendirikan kelompok-kelompok baca secara
terbatas pada suatu tempat, belum dapat mengangkat dan menyelesaikan
persoalannya secara nasional dan bersinambungan. Kalau kita boleh
menghitung-hitung biaya yang telah dikeluarkan oleh panitia maupun peserta
seminar dari beberapa kegiatan yang dilaksanakan secara sendiri-sendiri itu
barangkali kita sudah dapat mendirikan sebuah perpustakaan megah di ibukota
negara Republik ini.
IV. MEWUJUDKAN
LEMBAGA NASIONAL PEMBUDAYAAN MEMBACA
Banyak
pengalaman dari berbagai pihak dalam upaya “pengentasan rendahnya minat baca sejak tiga empat puluh tahun yang
lalu hingga kini, baik melalui seminar-seminar, pembentukan
organisasi-organisasi, namun hasilnya begitu-begitu saja. Saya beranggapan bahwa upaya untuk pengentasan rendahnya minat baca masyarakat tidak akan membuahkan
hasil optimal bilamana dilaksanakan secara sendiri-sendiri, terpisah-pisah dan
terpotong-potong. Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Dalam Negeri,
Departemen Agama, Perpustakaan Nasional dan lembaga-lembaga lain-lainnya tentu
tidak akan dapat banyak diharapkan untuk mengatasi hal ini. Kegiatan mereka
terlalu sarat dengan program-program rutinitas, yang tidak banyak menyentuh
secara langsung soal-soal minat baca. Oleh sebab itu pembentukan sebuah Lembaga Nasional Pembudayaan Masyarakat
Membaca atau apapun namanya adalah suatu “solution to a problem“ dalam pengentasan rendahnya minat baca
masyarakat kita.
Lembaga
tersebut merupakan sebuah Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang berada
dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan bersifat independen. Artinya
tidak di bawah kordinasi departemen apa pun,
meski dalam perencanaan dan operasional tetap berkoordinasi dengan
departemen-departemen atau lembaga terkait lainnya karena tersangkut dengan
sekolah, sistem pendidikan, kurikulum, perpustakaan, masyarakat dan lain
sebagainya.
Dalam
Lembaga Nasional Pembudayaan Masyarakat Membaca itu didalamnya terdapat para
pakar seperti pakar pendidikan, pakar perpustakaan, pakar pemeritahan dan
kemasyarakatan, pakar peneliti, pakar psikologi dan sosiologi dan lain-lain
yang ada hubungan dengan masalah pembudayaan masyarakat membaca.
Tugas-tugas
para pakar meliputi kegiatan memikirkan,
merencanakan, merumuskan kegiatan-kegatan operasional, mengkoordinasikan
serta memantau dan mengevaluasi hasil-hasil pelaksanaan kegiatan pembudayaan
masyarakat membaca. Misalnya dalam hubungannya dengan murid-murid sekolah maka
bagaimana sistim pendidikan nasional berbasis membaca dan belajar mandiri
dirancang, bagaimana kurikulum sekolah dalam semua jenis dan jenjang pendidikan
dari SD, SLTP, SLTA hingga ke perguruan tinggi yang memuat wajib baca dan wajib ke
perpustakaan. Bagaimana program penyelenggaraan perpustakaan di sekolah dan
perguruan tinggi desa, kota,
kabupaten, propinsi, rumah-rumah ibadah, instansi pemerintah dll.
Bagaimana
program perbukuan, pengarang, penerbit, toko buku dan sebagainya. Dalam hal
pengentasan buta huruf misalnya bagaimana kelanjutannya setelah mereka melek huruf, ke mana harus disalurkan.
Gerakan membaca nasional dilaksanakan melalui program apa saja yang berlangsung
secara kontinuitas dalam semua lapisan masyarakat.
Struktur organisasi kelembagaan diusulkan
berdasarkan Keputusan
Presiden Republik Indonesia.
Konsepsi organisasi kelembagaan terdiri dari para pakar dari beberapa bidang
seperti : Pakar Perpustakaan dan para senioritasnya, Pakar Pendidikan, Pakar
Psikologi Anak dan Perkembangannya, Pakar Sosiologi, Pakar Peneliti dan Studi
Perbandingan Tokoh-Tokoh Perbukuan, tokoh-tokoh organisasi-organisasi seperti :
Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI), Gerakan
Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB), Gabungan Toko Buku Seluruh Indonesia
(GATSBI), Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), dan lain-lain. Para
tokoh masyarakat serta pakar yang ada hubungannya pengembangan minat baca
masyarakat.
Strategi yang harus ditempuh untuk
mewujudkan wacana ini adalah melalui
langkah-langkah sebagai berikut :
1.
Membuat suatu kelompok
kesepahaman atas wacana ini,
2.
Kelompok tersebut mengusulkan
kepada Kepala Perpustakaan Nasional
RI untuk membentuk Tim
Inventarisasi dan Pendekatan terhadap para pakar yang dianggap berkompeten
dengan Minat Baca Masyarakat dan Instansi Pemerintah yang terkait,
3.
Kelompok tersebut mengusulkan
kepada Kepala Perpustakaan Nasional RI dan atau Menteri Pendidikan Nasional,
Menteri Dalam Negeri untuk membentuk sebuah panita perumus konsep Lembaga Nasional
Pembudayaan Masyarakat Membaca yang terdiri dari para pakar dan para pejabat,
4.
Anggaran kepanitiaan menjadi
beban Perpustakaan Nasional
RI, Departemen Pendidikan Nasional
dan Departemen Dalam Negeri,
5.
Panitia perumus membuat konsep
kelembagaan, status, struktur organisasi, mekanisme kerja dan hubungan Lembaga
Nasional Pembudayaan Masyarakat Membaca menduduki posisi sesuai dengan kepakarannya.
Para pakar tidak terikat dengan usia tetapi
atas dasar kepakarannya,
6.
Panitia perumus mengusulkan
kepada Presiden Republik Indonesia
untuk membentuk Lembaga Nasional Pembudayaan Masyarakat Membaca yang didalamnya
terdiri dari para pakar menurut profesinya tanpa memandang usia tetapi atas
dasar kompetensi dan kepakarannya,
7.
Anggaran Lembaga
Nasional dibebankan kepada Negara Republik Indonesia.
Hadirin sekalian
Sebagai penutup, perkenankanlah dalam kesempatan ini
saya menyampaikan rasa terimakasih saya dan penghargaan yang setulus-tulusnya
kepada isteri saya tercinta Dra. Hj. Maimuna yang selama 31 (tiga puluh satu)
tahun hidup bersama saya selalu taat dan setia mendampingi saya dalam
mengabdikan diri kepada Nusa dan Bangsa, khususnya dalam bidang perpustakaan di
Perpustakaan Nasional RI. Meskipun
selama dalam pengabdian tersebut hingga saat ini tidak banyak
kebahagiaan materiel yang dapat saya persembahkan kepada isteri dan anak-anak
saya tersayang, bahkan mereka tidak pernah menuntut apapun juga. Karena selama
ini idealisme memperjuangkan eksistensi perpustakaan dan pengembangan minat
baca masyarakat sudah menjadi pilihan satu-satunya yang saya yakini dapat
membahagiakan lahir bathin saya dan keluarga. Keyakinan akan kebenaran memperjuangkan
suatu idealisme adalah sudah terlanjur membentuk kepribadian saya yang
ditanamkan oleh kedua orang ibu/bapak saya dalam mendidik anak-anak beliau
sejak usia dini.
Rasa penghargaan yang teramat dalam tidak lupa pula saya
sampaikan kepada ketiga anak-anak saya tersayang yaitu : Pustaka Dewi Marwiyati
yang saat ini sudah hidup berkeluarga dengan seorang putranya di Banjarmasin,
dan Ramadhani Mubaroh yang sedang menyelesaikan pendidikannya dalam bahasa
Jepang di Shizouka-Jepang atas biaya sebuah yayasan, serta ananda tersayang
Sepsa Zulqaida Shubhi yang juga sedang menyelesaikan pendidikannya dalam
jurusan Bahasa Inggris di STBA Bandung. Ketiga anak-anak saya tersebut banyak
sekali memberikan dorongan dan motivasi dalam pengabdian saya dan tidak pernah
sedikitpun mengeluh atas ketidakadilan saya dalam membagi waktu antara rasa
kasih sayang dengan anak-anak dan tugas-tugas kantor, karena saya hampir setiap
hari pulang ke rumah pada larut malam. Bahkan anak-anak dan isteri tidak jarang menyusul ke kantor pada saat malam
malam hari dengan membawa makanan untuk
makan malam bersama.
Atas dorongan, dukungan dan
pengertian dari seorang isteri tercinta dan ketiga orang anak-anak saya
tersayang itulah yang hingga saat ini dapat mengantarkan saya kejenjang
pustakawan utama yang saat ini telah
dilaksanakan pengukuhannya.
Semoga Allah memberkahi
keluarga saya tercinta dan limpahan rachmat Nya bagi semua yang terlibat dalam
kegiatan Orasi dan pengukuhan saat ini.
Demikianlah sekadar pemikiran yang dapat saya
sumbangkan, semoga membaca menjadi kebutuhan masyarakat kita dan membaca
menjadi budaya bangsa.
Sekian, Billahit taufik wal hidayah Wassalammu’alaikum
wr.wb. terima kasih.
Komentar
Posting Komentar